Departemen Pendidikan Nasional memperkirakan 70 persen dari 250 ribu kepala sekolah di Indonesia tidak kompeten. Berdasarkan ketentuan Departemen, setiap kepala sekolah harus memenuhi lima aspek kompetensi, yaitu kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Namun, hampir semua kepala sekolah lemah di bidang kompetensi manajerial dan supervisi. “Padahal dua kompetensi itu merupakan kekuatan kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik,” kata Direktur Tenaga Kependidikan Surya Dharma kepada wartawan di Jakarta kemarin.
Kesimpulan ini merupakan temuan
Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen
Pendidikan Nasional setelah melakukan uji kompetensi. Direktorat
Peningkatan Mutu melakukan uji kompetensi berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala
Sekolah. Lebih dari 400 kepala sekolah dari lima provinsi mengikuti tes
tersebut. Untuk memastikan temuan itu, uji kompetensi kembali dilakukan
pekan lalu terhadap 50 kepala sekolah sebuah yayasan pendidikan.
“Hasilnya sama saja,” kata Surya.
Banyaknya kepala sekolah yang kurang
memenuhi standar kompetensi ini tak terlepas dari proses rekrutmen dan
pengangkatan kepala sekolah yang berlaku saat ini. Di sejumlah negara,
kata Surya, untuk menjadi kepala sekolah, seseorang harus menjalani training dengan
minimal waktu yang ditentukan. Ia mencontohkan Malaysia, yang
menetapkan 300 jam pelatihan untuk menjadi kepala sekolah, Singapura
dengan standar 16 bulan pelatihan, dan Amerika, yang menetapkan lembaga
pelatihan untuk mengeluarkan surat izin atau surat keterangan
kompetensi.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah,
pengangkatan kepala sekolah menjadi kewenangan penuh bupati atau wali
kota. “Kewenangan tersebut menjadikan bupati atau wali kota seenaknya
saja menentukan kepala sekolah,” ujarnya. Selain itu, proses
pengangkatannya jarang disertai pelatihan. Ia berharap kepala daerah
kembali menggunakan standar kompetensi dalam memilih dan mengangkat
kepala sekolah.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Guru
Independen Indonesia Yanti Sriyulianti menyatakan perekrutan kepala sekolah memang tidak profesional. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya
sekolah yang tidak berkualitas. Ia memberi contoh perekrutan kepala
sekolah di Subang, Jawa Barat, yang cenderung tertutup. “Proses yang
tertutup seperti itu bisa saja terjadi di tempat lain dan dapat
diindikasikan sebagai salah satu bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme,”
kata Yanti kemarin. Menurut dia, perlu perubahan manajemen dan regulasi
yang lebih transparan dan akuntabel untuk memperbaikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar